السبت، 2 مارس 2013

Daun Lamtoro



I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Dalam rangka diversifikasi pakan, maka perhatian terhadap bahan – bahan inkonvensional  kini  sudah mulai digalakkan untuk kebutuhan ternak karena bahan pakan konvensional terutama sumber protein, seperti  jagung dan bungkil kacang kedelai berfluktuasi dan masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri pakan dalam negeri. Hal ini mendorong upaya pencarian bahan pakan alternatif yang lebih tersedia secara lokal, mudah didapat dan harga tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Limbah daun lamtoro ini yang potensial digunakan sebagai pakan unggas.
Lamtoro (Leucena leucocephala) merupakan salah satu leguminosa pohon yang mengandung protein tinggi dan karotenoid yang sangat potensial sebagai pakan ternak non ruminansia seperti unggas. Kandungan lamtoro adalah bahan kering 90,02%, protein kasar 22,69%, lemak 2,55%, serat kasar 16,77%, abu 11,25%, Ca 1,92 dan P 0,25% serta  β-karoten 331,07 ppm (Yessirita, 2010). Dari hasil analisa tersebut dilihat bahwa lamtoro memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sehingga pengunaan lamtoro terbatas dalam ransum ternak. Pemberian lamtoro pada ternak unggas khususnya ayam sangat terbatas yaitu sampai 10%.
Untuk mengatasi keterbatasan pemberian daun lamtoro tersebut pada ternak unggas  maka dilakukan dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga dapat meningkatkan nilai kecernaan (Saono, 1976; Jay, 1978; Winarno, 1980), menambah rasa dan aroma serta  meningkatkan kandungan vitamin dan mineral (Kuhad dkk., 1997). Fermentasi dilakukan menggunakan bakteri Bacillus laterosporus. Bakteri Bacillus laterosporus merupakan bakteri selulolitik yang menghasilkan enzim selulase dan enzim protease untuk merombak zat-zat makanan yang sulit dicerna menjadi mudah dicerna. Seperti yang dijelaskan oleh Supriati, Hamid, Pasaribu dan Sinurat (1998) bahwa fermentasi diharapkan terjadinya perombakan bahan kompleks menjadi sederhana sehingga mudah dicerna yang selanjutnya dapat meningkatkan nilai gizi bahan. Akan tetapi, dosis inokulum dan lama fermentasi dalam penggunaannya dibatasi hingga batas optimum yang mana dapat memberikan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri.
Faktor lain yang perlu diperhatikan  dalam proses fermentasi adalah lama fermentasi. Menurut Sulaiman (1988) semakin lama waktu yang diberikan untuk proses fermentasi maka semakin banyak bahan yang dirombak. Akan tetapi, bakteri memilki batas waktu optimum untuk mencapai pertumbuhan optimmnya.
            Berdasarkan hal tersebut diatas dan belum ada yang melakukan penelitian mengenai bakteri Bacillus laterusporus sebagai bakteri selulolitik untuk inokulum fermentasi lamtoro maka rencana penelitian akan dilaksanakan dan diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kandungan gizi dari lamtoro tersebut.


B.  Perumusan masalah
Ø  Bagaimana pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dengaan Bacillus laterosporus  terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar.
Ø  Penggunaan Bacillus laterosporus pada produk fermentasi terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar.
C   Tujuan Penelitian 
            Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) oleh bakteri Bacillus laterusporus terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar.
D.  Hipotesis Penelitian.
            Hipotesis penelitian adalah peningkatan dosis inokulum dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan Bacillus laterosporus dapat meningkatkan kadar  protein kasar dan menurunkan bahan kering dan serat kasar.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Pengaruh Dosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro Dengan Bacillus laterosporus Terhadap Kandungan Bahan kering.
Rataan kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi berkisar antara 51,87% sampai 61,45%. Kandungan bahan kering tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kandungan bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 90,02%.
Tabel 2.Rataan kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi.
Lama fermentasi
Dosis inokulum
Rataan

A1
A2
A3

B1
61,45
57,81
56,76
59,67a
B2
54,45
58,25
57,22
56,64ab
B3
55,37
51,87
52,38
53,21b
Rataan
57,09
55,98
54,45

Keterangan : superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang           berbeda nyata (P<0,05).

            Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara dosis inokulum dan lama fermentasi serta perlakuan dosis inokulum memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi  sedangkan perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi.
            Setelah dilakukan uji DMRT terhadap pengaruh lama fermentasi, terlihat bahwa antara fermentasi 18 jam dengan 24 jam tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap bahan kering (P>0,05), sedangkan antara lama fermentasi 12 jam dengan 18 jam dan 24 jam memperlihatkan perbedaan yang nyata terhadap kandungan bahan kering (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh pengaruh lama fermentasi yang dapat meningkatkan kualitas zat-zat makanan dengan prinsip mengaktifkan pertumbuhan mikroorganisme tertentu, sehingga dapat membentuk bahan yang berbeda dengan asalnya (Winarno & Fardiaz, 1980).
            Perbedaan lama fermentasi juga menghasilkan interaksi yang berbeda antara perlakuan terhadap kandungan bahan kering, karena bakteri Bacillus laterosporus mempunyai waktu optimum untuk pertumbuhan, dimana pada lama fermentasi 18 jam adalah fase pertumbuhan cepat. Sesuai dengan pendapat (Yessirita 2010) bahwa waktu generasi untuk bakteri Bacillus laterosporus tertinggi pada masa 18 jam. Semakin banyak bakteri yang tumbuh maka semakin banyak zat makanan yang dirubah sebagai sumber energi, akibatnya molekul air yang dihasilkan proses metabolisme bakteri juga meningkat. Sesuai dengan pendapat Fardiaz (1988) bahwa selama fermentasi berlangsung mikroorganisme menggunakan. Karbohidrat sebagai sumber energi yang dapat menghasilkan molekul air dan CO2 sebagian besar air akan tertinggal dalam produk dan sebagian akan keluar dari produk. Air yang tertinggal dalam produk inilah yang akan menyebabkan kadar air menjadi tinggi dan bahan kering menjadi rendah (Winarno et,al, 1980). Jadi semakin lama proses fermentasi maka kadar air substrat akan semakin tinggi dan akan menurunkan kandungan bahan kering produk fermentasi.
B.     Pengaruh Dosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro Dengan Bacillus laterosporus Terhadap Kandungan Serat Kasar
Rataan kandungan serat kasar daun lamtoro fermentasi berkisar antara 11,85% sampai 14,37%. Kandungan serat kasar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kandungan bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 16,77%.
Tabel 3.Rataan kandungan serat kasar daun lamtoro fermentasi
Lama fermentasi
Dosis inokulum
Rataan

A1
A2
A3

B1
14,37
11,85
13,25
13,16
B2
13,01
12,69
13,67
13,12
B3
13,01
12,18
13,76
12,98
Rataan
13,46a
12,24b
13,56a

Keterangan : superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang           berbeda nyata (P<0,05).

            Hasil analisa keragaman menunjukan bahwa interaksi dosis inokulum dengan lama fermentasi yang berbeda tidak nyata (P > 0,05) terhadap kandungan serat kasar daun lamtoro fermentasi, Sedangkan dosis inokulum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
            Hasil uji DMRT terhadap dosis inokulum memperlihatkan bahwa pada perlakuan A2 mengalami penurunan serat kasar paling tinggi. Hal ini dapat terjadi karena dengan dosis inokulum 6% merupakan dosis terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan bakteri. Bakteri Bacillus laterosporus ini mengakibatkan aktifitas enzim selulase dalam membentuk kandungan serat kasar juga meningkat, sehingga kandungan serat kasar menurun.
            Di lihat pada perlakuan lainnya menunjukkan bahwa penurunan serat kasarnya lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan A2. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan lainnya proses fermentasi belum mencapai waktu optimum untuk pertumbuhan bakteri, sehingga bakteri belum tumbuh secara sempurna dan merata.
            Menurut Fardiaz & Winarno (1988) menjelaskan bahwa waktu fermentasi yang singkat mengakibatkan terbatasnya kesempatan jamur untuk tumbuh dan berkembang sehingga komponen substrat yang dapat diubah menjadi massa sel juga akan sedikit. Waktu fermentasi yang melampaui batas waktu waktu optimum akan menyebabkan bakteri mati karena ketersedian makanan untuk pertumbuhan bakteri sudah mulai habis, karena pertumbuhan bakteri yang sedikit menyebbakan enzim selulase yang dihasilkannya juga sedikit untuk merombak selulase sehingga kandungan serat kasarnya menjadi tinggi.

C.      PengaruhDosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro Dengan Bacillus Laterosporus Terhadap Kandungan Protein Kasar
Rataan kandungan protein kasar daun lamtoro fermentasi berkisar antara 26,02% sampai 32,48%. Kandungan serat kasar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kandungan bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 22,69%.
Tabel 4.Rataan kandungan protein kasar daun lamtoro fermentasi
Lama fermentasi
Dosis inokulum
Rataan

A1
A2
A3

B1
28,28
26,02
26,20
26,83a
B2
26,46
28,77
26,12
27,12a
B3
30,79
32,48
27,02
30,09b
Rataan
28,51
29,09
26,45

Keterangan : superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang           berbeda nyata (P<0,05).

            Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa dosis inokulum dan interaksi antara dosis inokulum dengan lama fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P > 0,05), sedangkan pada faktor lama fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) Terhadap kandungan protein kasar daun lamtoro fermentasi.
            Hasil uji DMRT terhadap interaksi antara lama fermentasi dengan dosis inokulum menunjukkan bahwa pada perlakuan B3 (24 jam) mengalami peningkatan protein kasar tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena bakteri tumbuh lebih bagus dan merata dengan lama fermentasi 18 – 24 jam dapat tercapai kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri Bacillus laterosporus sesuai dengan hasil penelitian Yessirita (2010). Fardiaz (1988) menyatakan bahwa selama fermentasi mikroba mengeluarkan enzim-enzim  dan enzim tersebut adalah protein dan mikroba yang merupakan sumber protein tunggal. Pada fermentasi dibutuhkan dosis inokulum yang banyak,semakin banyak dosis inokulum yang diberikan semakin cepat proses fermentasi berlangsung karena dengan dosis inokulum yang tinggi menyebabkan pertumbuhan mikroba pada substrat semakin banyak pula dan aktifitas enzim juga meningkat sehingga kandungan protein kasar substrat meningkat (Sulaiman, 1988).
            Rendahnya kandungan protein kasar pada perlakuan lainnya disebabkan pada lama fermentasi 12 jam pertumbuhan bakteri belum optimal karena aktifitas enzim Bacillus laterosporus dalam menghasilkan enzim protease sama-sama mengalami penurunan sehingga kandungan protein kasar substrat menurun. Kombinasi daun lamtoro fermentasi yang tertinggi diperoleh pada lama 18 jam dengan dosis 6%, Hal ini disebabkan karena semakin lama fermentasi maka akan semakin meningkat kandungan protein kasar dan semakin tinggi dosis inokulum yang digunakan akan menurunkan kadar protein kasar kembinasi DLF.
            Peningkatan lama fermentasi (dari 12 jam – 24 jam) akan menurunkan kandungan protein kasar DLF pada dosis inokulum (3% dan 9 %). Hal ini disebabkan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan dosis inokulum maka pertumbuhan dan perkembangan bakteri Bacillus laterosporus akan tidak merata sehingga diperoleh pertumbuhan bakteri Bacillus laterosporus yang tidak optimum. Semakin sedikit bakteri Bacillus laterosporus yang tumbuh maka akan semakin menurunkan kandungan protein kasar.






















V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan Bacillus laterosporus mendapatkan hasil yang terbaik dengan kandungan bahan kering 51,87%%, protein kasar 32,48% dan serat kasar 12,18%.



 



ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق