I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam rangka diversifikasi pakan,
maka perhatian terhadap bahan – bahan inkonvensional
kini sudah mulai digalakkan untuk
kebutuhan ternak karena bahan pakan konvensional terutama sumber protein, seperti jagung dan bungkil kacang kedelai
berfluktuasi dan masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri pakan
dalam negeri. Hal ini mendorong upaya pencarian bahan pakan alternatif yang
lebih tersedia secara lokal, mudah didapat dan harga tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia. Limbah daun lamtoro ini yang potensial digunakan sebagai pakan unggas.
Lamtoro (Leucena leucocephala) merupakan
salah satu leguminosa pohon yang mengandung
protein tinggi dan karotenoid yang sangat
potensial sebagai pakan
ternak non ruminansia seperti unggas. Kandungan
lamtoro adalah bahan kering 90,02%, protein kasar 22,69%, lemak 2,55%, serat
kasar 16,77%, abu 11,25%, Ca 1,92 dan P 0,25% serta β-karoten 331,07 ppm (Yessirita, 2010). Dari hasil analisa tersebut dilihat bahwa
lamtoro memiliki kandungan serat kasar yang tinggi sehingga pengunaan lamtoro
terbatas dalam ransum ternak. Pemberian lamtoro pada
ternak unggas khususnya ayam sangat terbatas yaitu
sampai 10%.
Untuk mengatasi keterbatasan pemberian daun lamtoro
tersebut pada ternak unggas
maka
dilakukan dengan penggunaan
mikroorganisme melalui proses fermentasi. Fermentasi juga dapat meningkatkan
nilai kecernaan (Saono, 1976; Jay, 1978; Winarno, 1980), menambah rasa dan
aroma serta meningkatkan kandungan
vitamin dan mineral (Kuhad dkk., 1997). Fermentasi dilakukan menggunakan bakteri Bacillus laterosporus. Bakteri Bacillus laterosporus merupakan bakteri
selulolitik yang menghasilkan enzim selulase dan enzim protease untuk merombak
zat-zat makanan yang sulit dicerna menjadi mudah dicerna. Seperti
yang dijelaskan oleh Supriati, Hamid, Pasaribu dan Sinurat (1998) bahwa
fermentasi diharapkan terjadinya perombakan bahan kompleks menjadi sederhana
sehingga mudah dicerna yang selanjutnya dapat meningkatkan nilai gizi bahan. Akan tetapi, dosis inokulum dan lama
fermentasi dalam penggunaannya dibatasi hingga batas optimum yang mana dapat
memberikan kondisi yang cocok untuk pertumbuhan bakteri.
Faktor lain yang
perlu diperhatikan dalam proses
fermentasi adalah lama fermentasi. Menurut Sulaiman (1988) semakin lama waktu
yang diberikan untuk proses fermentasi maka semakin banyak bahan yang dirombak.
Akan tetapi, bakteri memilki batas waktu optimum untuk mencapai pertumbuhan
optimmnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas dan
belum ada yang melakukan penelitian mengenai bakteri Bacillus laterusporus sebagai bakteri selulolitik untuk inokulum fermentasi lamtoro
maka rencana penelitian akan dilaksanakan dan diharapkan dapat menurunkan kandungan serat kasar dan meningkatkan kandungan gizi
dari lamtoro tersebut.
B. Perumusan masalah
Ø Bagaimana pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dengaan Bacillus
laterosporus terhadap bahan kering, protein kasar dan serat
kasar.
Ø Penggunaan Bacillus laterosporus pada produk fermentasi terhadap bahan kering, protein kasar dan serat
kasar.
C Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dosis dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena leucocephala) oleh bakteri Bacillus laterusporus terhadap bahan kering, protein kasar dan serat kasar.
D. Hipotesis
Penelitian.
Hipotesis penelitian
adalah peningkatan dosis
inokulum dan lama fermentasi daun lamtoro (Leucaena
leucocephala) dengan Bacillus laterosporus dapat meningkatkan
kadar protein kasar dan menurunkan bahan kering dan serat kasar.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Dosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro
Dengan Bacillus laterosporus Terhadap
Kandungan Bahan kering.
Rataan kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi berkisar antara 51,87%
sampai 61,45%. Kandungan bahan kering tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
kandungan bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 90,02%.
Tabel 2.Rataan kandungan bahan kering
daun lamtoro fermentasi.
Lama fermentasi
|
Dosis inokulum
|
Rataan
|
||
A1
|
A2
|
A3
|
||
B1
|
61,45
|
57,81
|
56,76
|
59,67a
|
B2
|
54,45
|
58,25
|
57,22
|
56,64ab
|
B3
|
55,37
|
51,87
|
52,38
|
53,21b
|
Rataan
|
57,09
|
55,98
|
54,45
|
Keterangan :
superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Hasil analisis keragaman menunjukkan
bahwa interaksi antara dosis inokulum dan lama fermentasi serta perlakuan dosis
inokulum memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kandungan
bahan kering daun lamtoro fermentasi
sedangkan perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap
kandungan bahan kering daun lamtoro fermentasi.
Setelah dilakukan uji DMRT terhadap
pengaruh lama fermentasi, terlihat bahwa antara fermentasi 18 jam dengan 24 jam
tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap bahan kering (P>0,05), sedangkan
antara lama fermentasi 12 jam dengan 18 jam dan 24 jam memperlihatkan perbedaan
yang nyata terhadap kandungan bahan kering (P<0,05). Hal ini disebabkan oleh
pengaruh lama fermentasi yang dapat meningkatkan kualitas zat-zat makanan dengan prinsip mengaktifkan
pertumbuhan mikroorganisme tertentu, sehingga dapat membentuk bahan yang
berbeda dengan asalnya (Winarno & Fardiaz, 1980).
Perbedaan lama fermentasi juga
menghasilkan interaksi yang berbeda antara perlakuan terhadap kandungan bahan
kering, karena bakteri Bacillus
laterosporus mempunyai waktu optimum untuk pertumbuhan, dimana pada lama
fermentasi 18 jam adalah fase pertumbuhan cepat. Sesuai dengan pendapat
(Yessirita 2010) bahwa waktu generasi untuk bakteri Bacillus laterosporus tertinggi pada masa 18 jam. Semakin banyak
bakteri yang tumbuh maka semakin banyak zat makanan yang dirubah sebagai sumber
energi, akibatnya molekul air
yang dihasilkan proses metabolisme bakteri juga meningkat. Sesuai dengan pendapat Fardiaz (1988)
bahwa selama fermentasi berlangsung mikroorganisme menggunakan. Karbohidrat sebagai sumber energi yang
dapat menghasilkan molekul air dan CO2 sebagian besar air akan tertinggal dalam
produk dan sebagian akan keluar dari produk. Air yang tertinggal dalam produk inilah yang akan menyebabkan kadar
air menjadi tinggi dan bahan kering menjadi rendah (Winarno et,al, 1980). Jadi semakin lama proses
fermentasi maka kadar air substrat akan semakin tinggi dan akan menurunkan
kandungan bahan kering produk fermentasi.
B. Pengaruh Dosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro
Dengan Bacillus laterosporus Terhadap
Kandungan Serat Kasar
Rataan kandungan serat kasar daun lamtoro fermentasi berkisar
antara 11,85% sampai 14,37%. Kandungan serat kasar tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan kandungan bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 16,77%.
Tabel 3.Rataan kandungan
serat kasar daun lamtoro fermentasi
Lama fermentasi
|
Dosis inokulum
|
Rataan
|
||
A1
|
A2
|
A3
|
||
B1
|
14,37
|
11,85
|
13,25
|
13,16
|
B2
|
13,01
|
12,69
|
13,67
|
13,12
|
B3
|
13,01
|
12,18
|
13,76
|
12,98
|
Rataan
|
13,46a
|
12,24b
|
13,56a
|
Keterangan :
superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Hasil analisa keragaman menunjukan bahwa
interaksi dosis inokulum dengan lama fermentasi yang berbeda tidak nyata (P >
0,05) terhadap kandungan serat kasar daun lamtoro fermentasi, Sedangkan dosis
inokulum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05).
Hasil uji DMRT terhadap dosis
inokulum memperlihatkan bahwa pada perlakuan A2 mengalami penurunan serat kasar
paling tinggi. Hal ini dapat
terjadi karena dengan dosis inokulum 6% merupakan dosis terbaik dalam meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Bakteri Bacillus laterosporus ini mengakibatkan
aktifitas enzim selulase dalam membentuk kandungan serat kasar juga meningkat,
sehingga kandungan serat kasar menurun.
Di lihat pada perlakuan lainnya
menunjukkan bahwa penurunan serat kasarnya lebih sedikit dibandingkan dengan
perlakuan A2. Hal ini
disebabkan karena pada perlakuan lainnya proses fermentasi belum mencapai waktu
optimum untuk pertumbuhan bakteri, sehingga bakteri belum tumbuh secara
sempurna dan merata.
Menurut Fardiaz & Winarno (1988)
menjelaskan bahwa waktu fermentasi yang singkat mengakibatkan terbatasnya
kesempatan jamur untuk tumbuh dan berkembang sehingga komponen substrat yang
dapat diubah menjadi massa sel juga akan sedikit. Waktu fermentasi yang
melampaui batas waktu waktu optimum akan menyebabkan bakteri mati karena
ketersedian makanan untuk pertumbuhan bakteri sudah mulai habis, karena pertumbuhan bakteri yang sedikit
menyebbakan enzim selulase yang dihasilkannya juga sedikit untuk merombak
selulase sehingga kandungan serat kasarnya menjadi tinggi.
C. PengaruhDosis Dan Lama Fermentasi Daun Lamtoro
Dengan Bacillus Laterosporus Terhadap
Kandungan Protein Kasar
Rataan kandungan protein kasar daun lamtoro fermentasi berkisar antara 26,02%
sampai 32,48%. Kandungan serat kasar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kandungan
bahan kering daun lamtoro sebelum fermentasi yaitu 22,69%.
Tabel 4.Rataan kandungan protein kasar daun lamtoro fermentasi
Lama fermentasi
|
Dosis inokulum
|
Rataan
|
||
A1
|
A2
|
A3
|
||
B1
|
28,28
|
26,02
|
26,20
|
26,83a
|
B2
|
26,46
|
28,77
|
26,12
|
27,12a
|
B3
|
30,79
|
32,48
|
27,02
|
30,09b
|
Rataan
|
28,51
|
29,09
|
26,45
|
Keterangan : superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan
pengaruh yang berbeda nyata
(P<0,05).
Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa
dosis inokulum dan interaksi antara dosis inokulum dengan lama fermentasi memberikan
pengaruh yang berbeda tidak nyata (P > 0,05), sedangkan pada faktor lama
fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) Terhadap kandungan
protein kasar daun lamtoro fermentasi.
Hasil uji DMRT terhadap interaksi
antara lama fermentasi dengan dosis inokulum menunjukkan bahwa pada perlakuan
B3 (24 jam) mengalami peningkatan protein kasar tertinggi dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena bakteri tumbuh lebih bagus dan
merata dengan lama fermentasi 18 – 24 jam dapat tercapai kondisi yang sesuai
untuk pertumbuhan bakteri Bacillus laterosporus
sesuai dengan hasil
penelitian Yessirita (2010). Fardiaz (1988) menyatakan bahwa selama fermentasi
mikroba mengeluarkan enzim-enzim dan enzim tersebut adalah protein dan mikroba
yang merupakan sumber protein tunggal. Pada fermentasi dibutuhkan dosis
inokulum yang banyak,semakin banyak dosis inokulum yang diberikan semakin cepat
proses fermentasi berlangsung karena dengan dosis inokulum yang tinggi
menyebabkan pertumbuhan mikroba pada substrat semakin banyak pula dan aktifitas
enzim juga meningkat sehingga kandungan protein kasar substrat meningkat
(Sulaiman, 1988).
Rendahnya kandungan protein kasar
pada perlakuan lainnya disebabkan pada lama fermentasi 12 jam pertumbuhan
bakteri belum optimal karena aktifitas enzim Bacillus laterosporus dalam menghasilkan enzim protease sama-sama mengalami penurunan sehingga
kandungan protein kasar substrat menurun. Kombinasi daun lamtoro fermentasi yang tertinggi diperoleh pada
lama 18 jam dengan dosis 6%, Hal ini disebabkan karena semakin lama fermentasi
maka akan semakin meningkat kandungan protein kasar dan semakin tinggi dosis
inokulum yang digunakan akan menurunkan kadar protein kasar kembinasi DLF.
Peningkatan lama fermentasi (dari 12
jam – 24 jam) akan menurunkan kandungan protein kasar DLF pada dosis inokulum
(3% dan 9 %). Hal ini
disebabkan dengan bertambahnya waktu fermentasi dan dosis inokulum maka
pertumbuhan dan perkembangan bakteri Bacillus
laterosporus akan tidak merata sehingga diperoleh pertumbuhan bakteri Bacillus laterosporus yang tidak optimum.
Semakin sedikit bakteri Bacillus
laterosporus yang tumbuh maka akan semakin menurunkan kandungan protein
kasar.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh dosis inokulum dan lama fermentasi
daun lamtoro (Leucaena leucocephala) dengan Bacillus laterosporus mendapatkan hasil yang
terbaik dengan kandungan bahan kering 51,87%%, protein kasar 32,48% dan
serat kasar 12,18%.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق